SEJARAH PERJALAN PARTAI MASYUMI


Masa Penjajahan Jepang

Tanggal 21 september 1937 atas kesadaran pemimpin-pemimpin  Organisasi Islam, mereka menyatukan diri dalam suatu federasi yang disebut Majelis Islam A’la Indonesia yang disingkat dengan MIAI, sebagaimana dikatakan Ahmad Syafii Maarif (1995:17) dalam bukunya Islam dan Kenegaraan sebagai berikut “Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) lahir atas inisiatif K.H. Mas Mansur dari Muhamadiyah, K.H.M. Dahlan dan K.H. Wahab Hasbullah dari, Nahdatul Ulama, Wondoamisseno dari Serikat Islam dan tokoh organisasi Islam lainnya separti Persatuan Ulama dan Al-irsyad”, berdasarkan kutipan tersebut dapat dipahami bahwa pendirian MIAI adalah inisiatif dari para pemimpin organisasi-organisasi Islam untuk menyatukan diri dalam satu organisasi Islam. Tanpa ada campur tangan dari pihak penjajah.

Pada bulan Oktober 1943 pihak Jepang membentuk organisasi baru untuk mengendalikan Islam. Sebagaimana dikatakan M.C. Ricklefs (1995:304), dalam bukunya, Sejarah Indonesia Modern mengatakan “MIAI dibubarkan dan digantikan oleh Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia)”. Sejalan dengan itu dalam bukunya Bulan Sabit dan Matahari J, Benda (1980:185)  juga mengatakan “diciptakannya organisasi baru tersebut (Masyumi) yang diberi status hukum langsung pada hari didirikannya, tak ayal lagi merupakan kemenangan politik Jepang terhadap Islam”.

Masyumi sebagai pengganti MIAI (Madjlisul Islamil A’laa Indonesia) karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian, Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII). Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh maupun tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam Putera (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi.

Masyumi pada masa Jepang ini berbeda dengan pendirian MIAI. Pembentukan MIAI bebas dari campur tangan penjajah, sedangkan pembentukan Masyumi dalam pergerakan tetap diawasi oleh Jepang sampai akhir pendudukannya di Indonesia.

Masyumi pada zaman pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi dari empat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.[1] Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian Abadi pada tahun 1947.

Masyumi Sebagai Partai Politik

atun

SETELAH serangkaian diskusi mengenai masa depan politik Islam, timbul gagasan untuk mendirikan organisasi politik. Pada Oktober 1945, sebuah komite dikepalai Natsir dibentuk untuk merealisasikan rencana tersebut. Tak lama, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat No X tentang anjuran membentuk partai-partai politik.

Natsir bergerak cepat. Pada 7-8 November 1945, di Gedung Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Yogyakarta, dihelatlah Kongres Umat Islam yang dihadiri para pemimpin muslim dan perwakilan organisasi muslim. Kongres memutuskan pembentukan satu-satunya partai politik yang menyalurkan aspirasi politik umat Islam.

Peserta kongres memilih nama Masyumi, tapi bukan merujuk pada Majelis Syuro Muslimin Indonesia di masa Jepang, ketimbang nama lain yang diusulkan, Partai Rakyat Islam. Sukiman Wirjosandjojo, ketua kongres, terpilih sebagai ketua umum.

Sebagaimana disebutkan dalam Anggaran Dasar, Masyumi memiliki tujuan: terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan orang-seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Illahi.

Beberapa organisasi yang di masa Jepang berafiliasi dengan Masyumi menjadi anggotanya. Organisasi Islam lainnya kemudian ikut bergabung. Selain organisasi, Masyumi menerima anggota perorangan. Dualisme keanggotaan ini didasarkan pertimbangan untuk memperbanyak anggota dan “agar Masyumi dapat dilihat sebagai wakil umat, tanpa ada yang merasa tidak diwakili,” tulis Deliar Noer dalam Partai Islam di Pentas Nasional.

Dengan sistem keanggotaan semacam itu, banyak yang memprediksikan bahwa Masyumi akan memenangi pemilihan umum. Namun, sistem ini juga punya kelemahan. Sistem ini, menurut George McT Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, menjadikan Masyumi “partai politik terbesar di Indonesia tapi kurang terorganisasi” atau dalam istilah Sjafruddin Prawiranegara, ketua terkemukanya “seekor gajah yang mengidap beri-beri”.

Pemilu 1955

Hasil penghitungan suara pada Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu.[2] Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah,Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.

Berikut Hasil Pemilu 1955:

Partai Nasional Indonesia(PNI) – 8,4 juta suara (22,3%)
Masyumi – 7,9 juta suara (20,9%)
Nahdlatul Ulama– 6,9 juta suara (18,4%)
Partai Komunis Indonesia(PKI) – 6,1 juta suara (16%)
Melalui Pemilu 1955 ini Masyumi mendapatkan 57 kursi di Parlemen.

Related Posts:

0 Response to "SEJARAH PERJALAN PARTAI MASYUMI"

Post a Comment