BAYANGAN HANTU HOAKS



Melukis hantu lebih mudah dari pada melukis orang, hewan dan tumbuhan. Bagaimana tidak jika melukis orang berbeda sedikit pun tetap akan ketahuan dan banyak komentar karena tidak mirip. Namun masih ada alasan karena orang yang kita lukis bergerak ataupun foto yang kita buat patokkan sudah mulai pudar. Begitu pula pada hewan dan tumbuhan, karena semua orang mengetahui kebenarannya secara nyata dengan mata bahkan memegangnya. Namun berbeda melukiskan hantu yang tak semua orang mengetahui dan jika mengetahuinya pun tidak secara mutlak dan nyata dapat dilihat dan dirabanya. Di sini pelukis pun mampu memberikan alasan untuk mempertahankan pendapatnya jika mendapatkan pertanyaan atau sanggahan dan kebanyakan dari kita tidak mempermasalahkan dengan memberikan rasa maklum terhadap sudut pandang yang berbeda. Kemungkinan lainnya kita tidak mengetahuinya sama sekali sehingga terpaksa bicara “iya-iya saja” terhadap hasil lukisan sang pelukis.
Begitu pula kehidupan saat ini yang kita jalani seakan-akan lebih tertarik kepada hal yang belum jelas dari pada hal yang sudah jelas dan cenderung melalaikannya. Jelas-jelas tidak jelas masih kita jelaskan dengan ketidakjelasan untuk mendapat kejelasan, seperti halnya tulisan ini yang tidak jelas dan masih anda baca walaupun tidak jelas serta menunggu kejelasan selanjutnya. Selayaknya menonton film horor yang mana jelas-jelas merupakan bukan hantu, namun tetap percaya bahwa itu hantu dan kita teriak ketakutan. Mengeluarkan uang demi hantu dan menikmatinya, selayaknya berusaha melalui jalan instan dan berharap menikmati hasil yang kekal. Mencari kejelasan dari sesuatu kejelasan adalah bagian dari literasi diri untuk melawan hoaks yang berkembang melalui dunia pendidikan. Mengarahkan dan membimbing peserta didik untuk berliterasi merupakan bagian dari usaha menyelamatkan generasi bangsa dari hoaks yang sering kali meresahkan dan mengiring opini masyarakat terutama peserta didik yang masih dalam usia remaja. Melawan hoaks selayaknya melukiskan kenyataan dan bukan melukis keabstrakan yang tidak bisa dilihat benar salahnya dari berbagai sudut pandang serta hanya mengiring opini ke arah yang diinginkan pelukis.
Memberikan bekal kepada peserta didik lewat literasi bagian dari usaha melawan hoaks hal ini dikarenakan terdapat unsur pemahaman bukan sekedar baca tulis saja. Dengan pemahaman yang baik dan kebiasaan mengecek kebenaran sumber informasi sebagai langkah verifikasi maka sangat dimungkinkan sedikit dari mereka yang menjadi korban berita bohong. Pemahaman yang dimulai dari dalam kelas dan dikaitkan dengan peristiwa sehari-hari di sekeliling mereka melalui pemikiran kritis dan pemecahan masalah dengan solusi, selayaknya melukis pohon beserta buahnya yang mana sangat dirasakan manfaatnya di kehidupan nyata peserta didik. Pemahaman terhadap sebuah permasalahan tidak harus dalam buku dan materi yang disampaikan secara kontekstual, namun mampu memahami lingkungan sekitar sehingga muncul kesadaran diri dalam peserta didik. Kesadaran inilah yang nantinya membuat terbiasa melakukan hal positif termasuk dalam mencari sumber informasi yang valid sehingga membuat perkembangan kepada hal baik pada diri mereka dan terlepas dari bayangan hantu hoaks.

Related Posts:

MERDEKA BELAJAR BUKAN SENGSARA BELAJAR


Belajar merupakan bagian dari sisi kehidupan yang tidak bisa ditinggalkan ataupun dihilangkan. Hakikat manusia sesungguhnya adalah belajar entah secara formal ataupun non formal bahkan dari kehidupan. Kehidupan memiliki problematik yang tersimpan dengan kompleks yang terkadang tidak bisa ditemui dan dipecahkan dengan teori yang ada dalam proses pembelajaran di bangku sekolah. Daya kritis dan inovatif dari individu-individulah yang mampu menjawab dan menyelesaikan permasalahan. Banyak berpendapat bahwa pengalaman adalah guru terbaik, namun bagaimana mendapat pengalaman yang bernilai itu menjadi permasalahan sendiri karena bukan hanya sekedar pengalaman. Pengalaman tidaklah harus muncul dari diri pada dasarnya namun dari luar diri yakni orang lain yang bisa kita implementasikan pada diri untuk membuat pendewasaan dalam menyikapi perubahan. Jadi bukan semata-mata asal pengalaman saja, namun mampu menyelesaikan masalah dan tantangan dalam pengalaman tersebut serta dapat menghadapi era baru yaitu era society 5.0. Memunculkan daya kritis dan inovatif tidak hanya dengan memunculkan problem dan menawarkan solusi, namun lebih dari itu. Pendidikan menjadi salah satu sektor yang menentukan dan perkembangan sumber daya manusia dalam konteks ini peserta didik. Pendidikan memang menjadi hal yang utama terkait membentuk dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia untuk menyongsong cita-cita Indonesia menuju generasi emas 2045 yang akan mendatang. Kebijakan yang diambil untuk mengembangkan kualitas pendidikan di Indonesia selalu diikuti dengan pro dan kontra di dalam penerapannya di lapangan. Namun pro dan kontra dalam kebijakan perlu disikapi dalam koridor yang benar dan tujuan membangun ke arah yang lebih baik. Oleh sebabnya perlu adanya kebijakan yang matang tidak coba-coba, bersifat jelas dan tidak menimbulkan multi tafsir sehingga tidak menimbulkan perdebatan dalam penerapannya.

Akhir-akhir ini konsep merdeka belajar menjadi populer di dunia pendidikan sebagai kebijakkan baru yang tengah di perdebatkan. Merdeka belajar ditawarkan dengan harapan mampu membentuk kualitas sumber daya manusia di Indonesia melalui pendidikan untuk menghadapi perubahan dari revolusi industri 4.0 yang sedang berjalan dan menuju society 5.0 yang sudah muali terapkan Jepang tahun 2019 yang lalu. Dari empat kebijakan awal konsep merdeka belajar, Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter menjadi perhatian khusus karena dipersiapkan sebagai pengganti Ujian Nasional. Pada dasarnya bukan hal baru perubahan Ujian Nasional bahkan penghapusan, namun kali ini bukanlah sekedar wacana ataupun opini dari para pakar pendidikan di Indonesia akan tetapi dari Mendikbud. Konsep AKM sendiri datang dari Mendikbud yang merasa bahwa AKM lebih dibutuhkan dalam dunia kerja para peserta didik setelah lulus nantinya dari pada Ujian Nasional. Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter menitik beratkan pada kemampuan literasi, kemampuan numerasi dan pengetahuan pendidikan karakter pada peserta didik. Hal ini diharapkan mampu membekali peserta didik dengan kebutuhan dan tuntutan yang akan diharapi di dunia kerja yaitu berpikir memecahkan masalah, kritis dan inovatif. Asesmen Kompetensi Minimum sendiri mengacu pada  asesmen yang sudah dijalankan di level internasional yaitu PISA dan TIMSS. Dengan literasi dan numerasi peserta didik diharapkan mampu mengembangkan kemampuan dan potensinya dengan baik dan optimal sesuai dengan tuntutan zaman. Sebagai contoh saja dalam pembelajaran sejarah yang selama ini terkesan menghafalkan jika dalam konsep merdeka belajar idealnya tidak untuk menghafalkan nama, tahun, bulan bahkan tanggal dari peristiwa sejarah karena tidak semua peserta didik memiliki kemampuan hafalan yang kuat. Namun lebih kepada berpikir kritis dan analisis terhadap peristiwa sejarah di hubungkan dengan masa yang sezaman dan diambil hikmah dan pelajaran untuk masa kini. Dengan adanya merdeka belajar sesungguhnya menciptakan pembelajaran yang kompleks dari sisi literasi dan numerasi yang membuat peserta didik nyaman dan percaya diri atas potensi dan kemampuannya. Guru di sini dituntut memiliki sudut pandang yang lebih luas terkait potensi dan kemampuan anak didik sehingga tercipta pembelajaran yang menyenangkan serta sesuai porsi anak masing-masing. Sehingga peserta didik yang pandai sejarah dapat mempelajari lebih mendalam, dan yang kurang dalam hafalan tetap bisa mengikuti dengan cara dan gaya belajar peserta didik. Hal ini sangat diperlukan dikarenakan selama ini guru melihat peserta didik dengan kacamata disiplin ilmu yang di kuasinya, sehingga yang tidak bisa mengikuti pelajaran semakin tidak paham dan yang bisa mengikuti pelajaran terjebak dalam satu paradigma dari guru bersangkutan.

Di sisi lain guru harus menyadari peserta didik memiliki kemampuan yang berbeda-berda, namun tetap memperhatikan aspek pendidikan karakter dan mencoba untuk membimbing dan diskusi akan problem yang ditemui peserta didik. Merdeka belajar bukan berarti bebas sebebasnya namun tetap memiliki nilai-nilai karakter di dalamnya ataupun di salah artikan untuk meninggalkan kewajiban dikarenakan alibi merdeka belajar. Memberi ruang dan waktu peserta didik dengan arahan guru untuk menciptakan merdeka belajar bukan sebaliknya memaksa dan membuat rasa sengsara dalam belajar.

Related Posts:

BRANDING SEKOLAH DI ERA DIGITAL


Dalam dunia bisnis membangun merk atau citra menjadi faktor penting dan sangat menentukan keberlangsungannya. Istilah branding menjadi hal biasa dalam dunia bisnis, namun perlukah membangun branding sekolah di era digital sebagai wujud eksistensi? Branding sekolah di era digital sangatlah diperlukan menginggat peserta didik adalah generasi milenial. Di era digital dituntut cepat dan mudah, perubahan sangat cepat membuat kita dituntut selektif dalam mempertimbangkan dampak ke depannya. Namun banyak salah mengartikan branding dengan pemasaran dianggap sama, padahal kedua hal tersebut jelas berbeda secara fungsinya. Branding sekolah yang baik dan kuat akan membuat sekolah tersebut bersaing dan eksis. Membangun branding saat ini dibandingkan dengan dahulu, saat ini memperlukan waktu yang lebih singkat, namun memerlukan kecermatan dan ketelitian. Era digital harus hati-hati dan ekstra untuk menghindari dampak negatif, karena sangat mudah tersebar dalam waktu singkat. Walaupun saat ini ramai akan sistem zonasi, branding sekolah tetaplah diperlukan. Karena branding menunjukan siapa anda sesungguhnya! Membangun branding dapat dilakukan dengan lima langkah pada umumnya yaitu be noticed, be connected, be sure of yourself, be consistent, dan be different. Brand sekolah masuk dalam brand ritel yaitu brand yang dibangun atas pengetahuan, budaya, pengalaman dan produk. Tujuan membangun branding sekolah yang pertama, eksistensi dunia pendidikan dalam mengawal perubahan dan kemajuan zaman. Kedua, pentingnya pendidikan mengisi konten positif internet dan terakhir mendukung pengoptimalan kemampuan dan pendidikan abad 21 yang menuntut kreatif, kolaborasi dan komunikasi. Dengan membangun branding sekolah diharapkan eksistensi dunia pendidikan mampu mengantar generasi milenial menju generasi emas 2045. (MRAlim)

Related Posts: