Setelah meletusnya peristiwa 1965, kondisi politik semakin kacau karena antara PKI maupun TNI saling tuduh tentang siapa yang berada di balik peristiwa Gerakan 30 September. Akan tetapi, karena semakin terdesak akhirnya kekuatan PKI berhasil dihancurkan. Namun demikian, gejolak politik ini menjadi pekerjaan rumah karena telah memorak-porandakan kehidupan politik secara global. Oleh karena itu, program utama yang diemban setelah lahirnya Orde Baru adalah stabilitas politik. Di depan sidang pleno DPRGR pada 16 Agustus 1966, Soeharto sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera memberikan keterangan tentang tanggung jawab Kabinet Ampera dalam hal pemciptaan kodnsisi mental/psikologis bagi keperluan stabilitas sosial, politik, dan ekonomi. Hal yang paling awal dilakukan untuk mengatasi kondisi politik adalah pembubaran PKI dan pembersihannya di segala aspek. Di bidang politik luar negeri, pemulihan hubungan dengan Malaysia dilakukan dan Indonesia aktif kembali di PBB terhitung sejak 28 September 1966.
Setelah Soeharto mejabat sebagai presiden, pada 6 Juni 1968 diumumkan susunan Kabinet Pembangunan. Tugas pokok kabinet inisebagaimana dalam Ketetapan MPRS No XLI/MPRS/1968 disebut sebagai Pancakrida. Rinciannya adalah sebagai berikut. a. Menciptakan stabilisasi politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun dan Pemilihan Umum; b. Menyusun dan melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun; c. Melaksanakan Pemilihan Umum selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli 1971; d. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G30S/PKI dan setiap rongrongan, penyelewengan, serta pengkhiatan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan e. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat rendah.
Dalam kabinet yang pertama ini, Soeharto menerapkan sistem reformasi birokrasi. Reformasi dilakukan dengan menyederhanakan dan penggabungan departemen. Pada masa itu, hanya terdapat 5 menteri negara dan 18 manteri/pimpinan departemen yang duduk di dalam kabinet. Sebagai tindak lanjut Pancakrida, pada 3 Maret 1969 dibentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Lembaga ini bertugas (1) memulihkan keamanan dan ketertiban dalam hubungan dengan sebab akibat pemberontakan G30S/PKI serta kegiatan-kegiatan eksterm dan subversi lainnya; dan (2) mengamankan kewibawaan pemerintah dan alat-alatnya dari pusat sampai dengan daerah, untuk menjamin kelangsungan hidup Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dari sini benih-benih kekuasaan militer semakin mengemuka dan menjadi pendukung utama Orde Baru. Sepanjang periode Orde Baru, berhasil disenggarakan pemilihan umum sebanyak enam kali. Pemilihan umum pertama dilakukan pada 1971. Selanjutnya pemilihan dilakukan secara rutin setiap lima tahun semenjak 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pada pemilihan umum pertama tahun 1971, peserta sejumlah 10 partai politik/organisasi. Peserta ini merupakan yang terbanyak selama Orde Baru. Pemungutan suara dilaksanakan pada 3 Juli 1971. Pada pemilu ini, partai-partai politik mendapat 124 kursi di DPR dan Golongan Karya mendapat 261 kursi. Sementara itu, ABRI mendapat 75 kursi.
Pada pemilu kali ini untuk pertama kalinya Golongan Karya berpartisipasi dan secara luar biasa berhasil keluar sebagai pemenang. Keluarnya Golongan Karya sebagai pemenang Pemilu disebabkan larangan bagi pegawai negeri untuk bergabung dalam partai politik sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 tahun 1969. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1970 dan Kepres Nomor 82 tahun 1971 yang melarang seluruh pegawai negeri termasuk ABRI terlibat dalam kegiatan partai, dan menuntut loyalitas tunggal terhadap pemerintah.
Dengan demikian, suara pegawai negeri tertampung di dalam Golongan Karya (Golkar) sebagai organisasi non-partai politik. Masyarakat desa diajak untuk apolitik dan tidak terikat secara ketat pada organisai-organisasi politik. Akibatnya, aspirasi politik mereka ditampung melalui organisasi profesi fungsional. Dalam konteks ini, Golkarlah yang kemudian mengambil peran karena lebih leluasa bergerak melalui Karakterdes (Kader Penggerak Teritorial Desa). Inilah yang membedakan Golkar dengan partai politik lain. Pembatasan gerak partai bertujuan untuk memudahkan tercapainya stabilitas politik yang menjadi prasyarat pembangunan pada masa Orde Baru.