1. Kemampuan
Berpikir Kronologis
Kronologis mengandung arti pengetahuan
tentang urutan waktu dari sejumlah kejadian atau peristiwa. Pengetahuan ini
sangat penting dalam pelajaran sejarah yang senantiasa menekankan perlunya
mengurutkan seluruh kejadian atau peristiwa berdasarkan urutan waktunya, yakni
menempatkan kejadian atau peristiwa yang
terjadi lebih dahulu daripada yang terjadi kemudian. Sebagai contoh: peristiwa
yang terjadi pada tahun 1945 lebih didahulukan dari pada peristiwa yang terjadi
pada tahun 1946, atau peristiwa yang terjadi pada bulan Januari lebih
didahulukan daripada peristiwa yang
terjadi pada bulan Februari, atau peristiwa yang terjadi pada hari Senin lebih
didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada hari Selasa, atau peristiwa
yang terjadi pada jam 8 lebih didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada
jam 9.
Meski kemampuan berpikir kronologis
merupakan sesuatu yang sangat penting dalam sejarah, namun sejarah tidak dapat
disamakan dengan kronik. Pengertian kronik adalah catatan peristiwa menurut
urutan waktu kejadiannya. Di dalam kronik hanya dilakukan pencatatan terhadap
peristiwa tanpa mempedulikan keterkaitan antara peristiwa yang pertama dengan
yang kedua dan selanjutnya. Sementara kronologi sangat menekankan keterkaitan
antara peristiwa yang pertama dengan yang kedua dan selanjutnya.
Kronologi memberikan gambaran waktu
yang bersifat linear, yakni waktu yang bergerak dari belakang ke depan, atau
waktu yang bergerak dari kiri ke kanan, atau waktu yang bergerak dari titik
awal hingga mencapai titik akhir. Oleh karena itu, gerakan waktu bersifat
progresif karena memandang perjalanan waktu sebagai proses perkembangan menuju
kemajuan. Dalam pandangan waktu yang bersifat linear dan progresif tersebut,
pergerakan waktu dibagi menjadi tiga dimensi waktu yaitu masa lalu, masa kini
dan masa depan. Di antara dimensi waktu itu, sejarah mempelajari peristiwa yang
terjadi pada masa lalu. Namun, peristiwa masa lalu dalam sejarah mempunyai
keterkaitan dengan masa kini dan masa depan. Keterkaitan ketiga dimensi waktu itu
berada dalam kerangka berpikir kausalitas yang akan dijelaskan pada bagian yang
lain dalam modul ini.
Kebalikan dari berpikir kronologis
adalah berpikir anakronistis. Bila berpikir kronologis mengurut peristiwa
berdasarkan urutan waktu kejadiannya, maka anakronisme cara berpikir yang
mencampuradukan atau memutar balikan urutan peristiwa sehingga memberikan
pemahaman yang salah. Cara berpikir anakronistis menyalahi gambaran waktu
sebagai proses yang bergerak menurut garis lurus dari awal hingga akhir. Gerakan
waktu secara matematis diukur dengan detik, menit dan jam. Satuan ukuran waktu
yang lebih besar adalah hari, minggu, bulan, tahun, windu, dasawarsa, dan abad.
Anakronistis menempatkan kejadian atau peristiwa yang terjadi lebih dahulu di
belakang kejadian atau peristiwa yang terjadi kemudian. Sebagai contoh:
peristiwa yang terjadi pada tahun 1942 lebih didahulukan dari pada peristiwa
yang terjadi pada tahun 1941, atau peristiwa yang terjadi pada bulan Februari
lebih didahulukan daripada peristiwa
yang terjadi pada bulan Januari, atau peristiwa yang terjadi pada hari Selasa
lebih didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada hari Senin, atau
peristiwa yang terjadi pada jam 9 lebih didahulukan daripada peristiwa yang
terjadi pada jam 8.
2. Kemampuan
Berpikir Periodisasi
Periodisasi adalah pembagian waktu menurut
zamannya. Istilah periodisasi dalam bahasa Indonesia sepadan dengan penzamanan
atau pembabakan. Ketiga istilah ini (peridisasi, penzamana dan pembabakan)
mempunyai pengertian yang sama, yakni pembagian waktu menurut zamannya.
Kata periodisasi berasal dari kata
periode. Dalam bahasa Indonesia, kata periode mempunyai tiga pengertian: (1) kurun waktu, (2)
lingkaran waktu, dan (3) masa. Ketiga pengertian ini mengandung arti yang sama
yakni berkaitan dengan dimensi waktu. Oleh karena itu memahami periode menjadi
sangat penting dalam belajar sejarah karena dimensi waktu merupakan sesuatu
yang paling mendasar dalam ilmu sejarah. Periodisasi dalam ilmu sejarah
berfungsi untuk menyusun sistematika dalam penulisan sejarah.
Periodisasi diberikan berdasarkan
caesuur atau pembagian waktu yang diberikan. Pemberian caesuur diberikan oleh
para pujangga untuk historiografi tradisional, dan sejarawan untuk
historiografi modern. Keduanya mempunyai perbedaan sebagai berikut: Dalam
historiografi tradisional suatu zaman diberi nama menurut seorang raja yang
memerintah, atau dinasti yang memerintah, atau nama kerajaannya. Sebagai contoh
masa Raja Hawam Wuruk dalam sejarah Kerajaan Majapahit, Masa dinasti atau wangsa
Syailendra dalam sejarah Kerajaan Mataram Hindu yang mendirikan Candi
Borobudur, atau sejarah kota Makasar pada masa Kesultanan Gowa. Dalam
historigrafi modern, pembagian waktu diberikan berdasarkan penamaan kurun
waktu, misalnya periodisasi dalam sejarah Eropa yang dibagi menjadi tiga zaman,
yaitu zaman kuno, zaman pertengahan dan
zaman modern. Pembagian ini diberikan oleh Christophorus Cellarius (1638-1707),
seorang ahli sejarah klasik Eropa berkebangsaan Jerman yang hidup pada abad
ke-17. Dialah yang membagi sejarah Eropa menjadi zaman kuno. pertengahan, dam
modern. Setiap periode diberikan batasan waktu 500 tahun. Berdasarkan pembagian
waktu ini maka zaman kuno Eropa berlangsung antara tahun 500 hingga tahun 1000,
zaman pertengahan Eropa berlangsung antara tahun 1000 hingga tahun 1500, dan
zaman modern Eropa berlangsung mulai dari tahun 1500 hingga sekarang.
Pembulatan waktu yang dilakukan
Cellarius dalam periodisasinya bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam
memahami perjalanan sejarah bangsa Eropa menuju bangsa yang modern. Di samping
pembulatan tahun, para sejarawan juga menggunakan pembulatan berdasarkan abad.
Sementara satu abad berjumlah 100 tahun. Oleh karena itu pembulatan waktu
berdasarkan abad memahami sejarah suatu bangsa dalam kurun waktu setiap seratus
tahun. Sebagai contoh dalam historigrafi Barat dikenal periodisasi yang membagi
periodisasi menjadi periode Reformasi – Protestan untuk sejarah Eropa pada abad
ke-16, periode Rasionalisme untuk sejarah Eropa pada abad ke-17, periode Pencerahan
atau Aufklarung untuk sejarah Eropa pada abad ke-18, dan peride
Romantisme-Nasionalisme untuk sejarah Eropa pada abad ke-19.
Periodisasi juga diberikan para sejarawan
Indonesia. Pada tahun 1957 para sejarawan Indonesia membagi sejarah Indonesia
menjadi enam periode, yaitu (1) Jaman Prasejarah Indonesia, (2) Jaman Kuno, (3)
Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, (4)
Abad Kesembilanbelas, (5) Jaman Kebangkian Nasional dan Masa Akhir Hindia
Belanda, dan (6) Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. Setiap periode
tersebut berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Dalam prasejarah berlangsung
sebelum abad masehi, jaman kuno berlangsung dari awal abad Masehi hingga tahun
1500, jaman pertumbuhan dan perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam berlangsung
dari tahun 1500 hingga tahun 1800, abad kesembilan belas berlangsung dari tahu
1800 hingga tahun 1900, jaman kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia
Belanda berlangsung dari tahun 1900 hingga 1942, dan jaman Jepang dan Jaman
Republik Indonesia berlangsung dari tahun 1942 hingga sekarang.
Periodisasi sejarah Indonesia yang diberikan
para sejarawan Indonesia tersebut merupakan penggabungan dari pembulatan tahun
dan pembulatan abad serta peristiwa-peristiwa politik yang dinilai sangat
penting, seperti tahun 1942, yaitu awal penjajahan Jepang di Indonesia yang
menandai berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia.
Dalam sejarah politik ada kebiasaan membuat
periodisasi berdasarkan pemilihan caesuur pada tahun pertistiwa penting, antara
lain akhir perang, awal revolusi, awal suatu pemerintahan, dan lain sebagainya.
Periodisasi seperti ini membuktikan bahwa ide pentingnya peranan perang,
diplomasi, dan peristiwa penting lain sangat menonjol. Jadi dominasi sejarah
politik dan perang sangat menentukan. Sebagai contoh adalah Revolusi Perancis
pada tahun 1789 yang dijadikan sebagai awal periode modern dalam sejarah
Perancis. Dapat disimpulkan bahwa periodisasi dalam sejarah politik dilakukan
secara tajam.
Pembagian periode secara tajam sebagaimana
berlaku dalam sejarah politik tersebut tidak dilakukan para sejarawan ekonomi
dan sosial. Mereka membagi periode berdasarkan konjungtur atau gelombang yang
memperhatikan perubahan yang lambat. Sebagai contoh adalah periodisasi yang
dilakukan sejarawan Perancis, Braudel. Ia membagi sejarah menjadi tiga periode
yaitu sejarah kejadian-kejadian (L’histoire evenementielle), sejarah
konjungtural, dan sejarah jangka panjang atau sejarah structural.
Perubahan dalam sejarah structural
(sejarah social) lebih lambat dari pada perubahan yang berlangsung dalam
sejarah konjungtural (sejarah ekonomi). Contoh sejarah structural adalah
perubahan struktur sosial atau struktur kekuasaan. Keduanya tidak dapat terjadi
secara mendadak dan berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Perubahan dalam
struktur sosial sangat bergantung pada kemunculan golongan sosial baru.
Kemunculan golongan sosial baru ini menciptakan pola hubungan sosial yang baru
pula di antara golongan-golongan sosial tersebut.
Dari uraian di atas, periodisasi yang
paling sederhana adalah periodisasi
dalam sejarah politik. Relatif lebih mudah menetapkan caesuur masa pemerintahan
penguasa, awal dan akhir perang, atau periode berdirinya suatu negara dan
kerajaan. Kesulitan utama dalam membuat periodisasi berkaitan dengan unit
sejarah yang diambil. Semakin besar dan kompleks suatu unit, semakin sulit.
Dalam menghadapi kesulitan-kesulitan
itu perlu diperhatikan bahwa periodisasi hanya suatu modalitas untuk memberi
struktur atau bentuk kepada waktu, tidak diperlukan kemutlakan dalam membuat
pembatasan. Yang paling pokok ialah memakai kriteria secara konsisten. Kriteria
adalah ukuran yang digunakan untuk menetapkan karakteristik zaman.
3. Kemampuan
Berpikir Diakronis dan Sinkronik
Kemampuan berpikir diakronik dan
sinkronik mempunyai beberapa perbedaan. Pengertian berpikir diakronis adalah
kemampuan memahami peristiwa dengan melakukan penelusuran pada masa lalu.
Sebagai contoh memahami Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945 dengan menelusuri perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia sejak
masa penjajahan Belanda pada abad ke-17. Oleh karena itu cara berpikir
diakronis sangat mementingkan proses terjadinya sebuah peristiwa.
Sementara berpikir sinkronik memahami
peristiwa dengan mengabaikan aspek perkembangannya. Cara berpikir sinkronik
memperluas ruang dalam suatu peristiwa. Sebagai contoh Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945 dijelaskan dengan menguraikan berbagai aspek, seperti aspek sosial,
ekonomi, politik, dan hubungan internasioal. Oleh karena itu cara berpikir
sinkronik sangat mementingkan struktur yang terdapat dalam setiap peristiwa.
Berpikir diakronis merupakan cara
berpikir yang khas sejarah, sementara berpikir sinkronik merupakan cara berpikir
yang khas ilmu-ilmu sosial. Dapat disimpulkan bahwa cara berpikir sejarah itu
bersifat diakronik, memanjang dalam waktu, serta memetingkan proses terjadinya
sebuah peristiwa. Sedangkan cara berpikir ilmu-ilmu sosial itu bersifat
sinkronik, melebar dalam ruang, serta mementingkan struktur dalam satu
peristiwa.
Cara berpikir sinkronik sangat
mempengaruhi kelahiran sejarah baru yang sangat dipengaruhi perkembangan imu-ilmu
sosial. Pengaruh itu dapat di golongan ke dalam empat macam, yaitu konsep,
teori, dan permasalahan.
Konsep
Bahasa latin conceptus yang berarti
gagasan atau ide. Para sejarawan banyak menggunakan konsep ilmu-ilmu social.
Sebagai contoh sejaawan Anhar Gonggong dalam disertasinya tentang Kahar Muzakkar menggunakan konsep politik
lokal untuk menerangkan konflik antar golongan di Sulawesi Selatan. Konsep ilmu
sosial lain yang digunakannya adalah konsep dari psikologi etnis yang terdapat
dalam masyarakat Sulawesi Selatan, yaitu sirik yang berarti harga diri atau
martabat.
Teori
Bahasa Yunani theoria berarti kaidah yang
mendasari suatu gejala, yang sudah melalui verifikasi. Sebagai contoh adalah
karya sejarawan Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah. Ia menerangkan perang
Aceh dengan teori perilaku kolektif dari ilmu sosial. Dalam teori itu
diterangkan bahwa perilaku kolektif dapat timbul, melalui dua syarat, yaitu
ketegangan structural dan keyakinan yang tersebar. Dalam kasus perang Aceh yang
diteliti Ibrahim Alfian dijelaskan adanya ketegangan antara orang Aceh dengan
pemerintah kolonial Hindia Belanda (ketegangan structural), dan keyakinan yang
tersebar di kalangan masyarakat Aceh bahwa musuh mereka adalah bukan
golongan/paham mereka.
Permasalahan
Dalam sejarah banyak sekali permasalahan
ilmu-ilmu sosial yang dapat diangkat jadi topic-topik penelitian sejarah. Soal
seperti mobilitas sosial, kriminalitas, migrasi, gerakan petani, budaya istana,
kebangkitan kelas menengah dan sebagian.
Sebagai contoh adalah karya sejarawan Sartono Kartodirdjo tentang
perkembangan peradaban priyayi yang ditulis berdasarkan permasalahan elite
dalam pemerintahan kolonial, kemunculannya, lambang-lambangnya, dan
perubahan-perubahannya.
DAFTAR PUSTAKA
· Gordon, B., (2003), Intellegent Memory:
A Perscription For Improving Your Memory, New York::
Penguing Books.
· Hasan. Hamid, (2012), Pendidikan Sejarah
Indonesia: Isu Dalam Ide dan Pembelajaran, Bandung: Rizqi.
· Kuntowijoyo. (1995). Ilmu Pengantar
Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
· Lewis, Bernard, (1987), History: Remembered,
Recovered, Invented, New York: Simon & Schuster, Inc.,)
· Sjamsuddin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
· Wineburg, Sam, (2006), Berpikir Historis, Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
0 Response to "SEJARAH PEMINATAN/LINTAS MINAT (X): BERFIKIR SEJARAH"
Post a Comment