Kata
sejarah diambil dari syajarah (bahasa Arab) yang berarti pohon. Dalam bahasa
Inggris history yang berasal dari Yunani historia yang berarti inkuiri
(inquiry), wawancara (interview), interogasi dari seorang saksi mata dan juga
laporan mengenai hasil-hasil tindakan itu.
Dari bahasa Yunani istilah historia masuk ke bahasa-bahasa lain,
terutama melalui perantaraan bahasa Latin. Dalam bahasa Latin, maknanya masih
sama seperti dalam bahasa Yunani. Tekanannya lebih pada pengamatan langsung,
penelitian, dan laporan-laporan hasilnya (Sjamsudin 2012:1-3).
Tacitus (69-96?) seorang sejarawan pada masa
Romawi menggunakan istilah historia untuk judul bukunya Historiae. Di dalam
buku itu Tacitus menulis laporan-laporan hasil pengamatannya secara pribadi.
Selain itu dia juga menulis laporan-laporan mengenai periode lebih awal (14-68
M) yang diberinya judul Annales (Sjamsudin 2012:2). Pada masa ini historia belum digunakan untuk
menunjukkan peristiwa di masa lampau.
Dalam perkembangannya, konsep history
(sejarah) mendapat suatu pengertian baru setelah terjadi percampuran antara
penulisan kronikel yang ketat secara kronologis dan narasi-narasi sejarah yang
bebas. Pada abad pertengahan hal itu dikenal dengan biografi yang juga disebut
vitae. Kelak penulisan biografi, khususnya biografi orang besar, menyebabkan
sejarawan Inggris Thomas Carlyle (1841) mengatakan bahwa sejarah sebagai
‘riwayat hidup orang-orang besar atau pahlawan’ semata. Tanpa mereka tidak ada
sejarah.
Namun, sejarah memang tidak hanya untuk
orang-orang/individu tertentu (orang-orang besar), seperti Socrates, Julius
Caesar, Gajah Mada, Napoleon, Soekarno.
Sejarah juga membahas kelompok masyarakat. Dalam hal ini manusia.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejarah
merupakan ilmu tentang manusia. Namun, juga bukan cerita tentang masa lalu
manusia secara keseluruhan. Demikian pula dengan manusia yang menjadi obyek
penelitian antropologi ragawi, seperti
hasil penelitian Steve Olson dalam Mapping Human History (2006) yang
berhasil melacak asal usul manusia modern di empat benua dan penyebarannya di
seluruh dunia selama lebih dari 150.000 tahun silam. Hal tersebut bukanlah
sejarah.
Manusia dan sejarah tidak dapat dipisahkan,
sejarah tanpa manusia adalah khayal. Manusia dan sejarah merupakan kesatuan
dengan manusia sebagai subyek dan obyek sejarah. Bila manusia dipisahkan dari
sejarah maka ia bukan manusia lagi, tetapi sejenis mahluk biasa, seperti hewan
(Ali 2005:101) Di sini ingatan manusia
memegang peranan penting. Ingatan itu digunakan manusia untuk menggali kembali
pengalaman yang pernah dialaminya. Mengingat berarti mengalami lagi, mengetahui
kembali sesuatu yang terjadi di masa lalu. Namun ingatan manusia terbatas
sehingga perlu alat bantu yaitu tulisan yang berfungsi untuk menyimpan ingatannya.
Dengan tulisan, manusia mencatat pengalamannya. Pengalaman yang dialami
manusia, dituturkan kembali dengan menggunakan bahasa (Ali 2005:101)
Sejarah merupakan pengalaman manusia dan
ingatan manusia yang diceritakan. Dapat dikatakan bahwa manusia berperan dalam
sejarah yaitu sebagai pembuat sejarah karena manusia yang membuat pengalaman
menjadi sejarah. Manusia adalah penutur sejarah yang membuat cerita sejarah
sehingga semakin jelas bahwa manusia adalah sumber sejarah (Ali 2005:102)
A. Manusia hidup dan
berkreativitas dalam ruang dan waktu
Dalam ilmu
sejarah, manusia dalam kegiatan dengan
masyarakat atau bangsanya merupakan kajian
utama. Sejarah membahas aktivitas manusia
pada masa lalu. Namun, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bukan berarti
sejarah membahas aktivitas manusia secara
keseluruhan. Kisah manusia tersebut berkaitan dengan kehidupan manusia yang
berkreasi dalam menghadapi kehidupannya.
Kisah
manusia tersebut dibatasi oleh waktu dan ruang, serta tempat manusia itu
berada. Dari sudut pandang waktu kreativitas manusia pada masa lampau berbeda
dengan kreativitas manusia pada masa kini. Demikian halnya dengan ruang.
Pemahaman tentang ruang dan waktu diperlukan untuk dapat mengembangkan
kemampuan berpikir secara kronologis.
Dalam hal
kreativitas manusia pada masa lampau misalnya bagaimana manusia pada zaman batu
makan, minum, berpakaian serta melakukan perjalanan menjadi pengalaman
yang diwariskan bagi masa-masa
sesudahnya. Sebagai contoh adalah bagaimana
kreativitas manusia untuk melakukan perjalanan dari suatu tempat ke
tempat lain.
B. Manusia hidup dalam perubahan dan berlanjutan
Selain
membahas manusia atau masyarakat, sejarah juga melihat hal lain yaitu waktu.
Waktu menjadi konsep penting dalam ilmu sejarah. Sehubungan dengan konsep
waktu, dalam ilmu sejarah menurut Kuntowijoyo (2001: 14-15) meliputi
perkembangan, berlanjutan/kesinambungan, pengulangan dan perubahan. Disebut
mengalami perkembangan apabila dalam kehidupan masyarakat terjadi gerak secara
berturut-turut dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain. Perkembangan terjadi
biasanya dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks. Misalnya adalah
perkembangan demokrasi di Amerika yang mengikuti perkembangan kota. Pada
awalnya masyarakat di Amerika tinggal di kota-kota kecil. Di kota-kota kecil
itulah tumbuh dewan-dewan kota, tempat orang berkumpul. Dari kota-kota kecil
mengalami proses menjadi kota-kota besar hingga menjadi kota metropolitan. Di
sini, demokrasi berkembang mengikuti perkembangan kota (Kuntowijoyo 2001:14)
Kesinambungan
terjadi bila suatu masyarakat baru hanya melakukan adopsi lembaga-lembaga lama.
Misalnya pada masa kolonial, kebijakan pemerintah kolonial mengadopsi kebiasaan
lama, antara lain dalam menarik upeti raja taklukan, Belanda meniru raja-raja
pribumi (Kuntowijoyo 2001: 15)
Sementara
itu disebut pengulangan apabila peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau
terjadi lagi pada masa berikutnya, misalnya menjelang presiden Soekarno jatuh
dari kekuasaannya pada tahun 1960-an banyak terjadi aksi dan demonstrasi,
khususnya yang dilakukan oleh para mahasiswa. Demikian halnya menjelang
presiden Soeharto jatuh pada 1998, juga banyak terjadi aksi dan
demonstrasi.
Sedangkan
dikatakan perubahan apabila dalam masyarakat terjadi perkembangan secara
besar-besaran dalam waktu yang relatif singkat. Perubahan terjadi karena adanya
pengaruh dari luar. Misalnya gerakan
nasionalisme di Indonesia sering dianggap sebagai kepanjangan dari gerakan
romantik di Eropa.
Berhubungan
dengan konsep waktu ini dikisahkan kehidupan manusia pada masa lalu. Masa lalu
merupakan sebuah masa yang sudah terlewati. Namun, masa lalu bukanlah suatu
masa yang terhenti dan tertutup. Masa lalu bersifat terbuka dan
berkesinambungan sehingga dalam sejarah, masa lalu manusia bukan demi masa lalu
itu sendiri. Segala hal yang terjadi di masa lalu dapat dijadikan acuan untuk
bertindak di masa kini dan untuk meraih kehidupan yang lebih baik di masa
datang.
1. Kemampuan
Berpikir Kronologis
Kronologis mengandung arti pengetahuan
tentang urutan waktu dari sejumlah kejadian atau peristiwa. Pengetahuan ini
sangat penting dalam pelajaran sejarah yang senantiasa menekankan perlunya
mengurutkan seluruh kejadian atau peristiwa berdasarkan urutan waktunya, yakni
menempatkan kejadian atau peristiwa yang
terjadi lebih dahulu daripada yang terjadi kemudian. Sebagai contoh: peristiwa
yang terjadi pada tahun 1945 lebih didahulukan dari pada peristiwa yang terjadi
pada tahun 1946, atau peristiwa yang terjadi pada bulan Januari lebih
didahulukan daripada peristiwa yang
terjadi pada bulan Februari, atau peristiwa yang terjadi pada hari Senin lebih
didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada hari Selasa, atau peristiwa
yang terjadi pada jam 8 lebih didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada
jam 9.
Meski kemampuan berpikir kronologis
merupakan sesuatu yang sangat penting dalam sejarah, namun sejarah tidak dapat
disamakan dengan kronik. Pengertian kronik adalah catatan peristiwa menurut
urutan waktu kejadiannya. Di dalam kronik hanya dilakukan pencatatan terhadap
peristiwa tanpa mempedulikan keterkaitan antara peristiwa yang pertama dengan
yang kedua dan selanjutnya. Sementara kronologi sangat menekankan keterkaitan
antara peristiwa yang pertama dengan yang kedua dan selanjutnya.
Kronologi memberikan gambaran waktu
yang bersifat linear, yakni waktu yang bergerak dari belakang ke depan, atau
waktu yang bergerak dari kiri ke kanan, atau waktu yang bergerak dari titik
awal hingga mencapai titik akhir. Oleh karena itu, gerakan waktu bersifat
progresif karena memandang perjalanan waktu sebagai proses perkembangan menuju
kemajuan. Dalam pandangan waktu yang bersifat linear dan progresif tersebut,
pergerakan waktu dibagi menjadi tiga dimensi waktu yaitu masa lalu, masa kini
dan masa depan. Di antara dimensi waktu itu, sejarah mempelajari peristiwa yang
terjadi pada masa lalu. Namun, peristiwa masa lalu dalam sejarah mempunyai
keterkaitan dengan masa kini dan masa depan. Keterkaitan ketiga dimensi waktu
itu berada dalam kerangka berpikir kausalitas yang akan dijelaskan pada bagian
yang lain dalam modul ini.
Kebalikan dari berpikir kronologis
adalah berpikir anakronistis. Bila berpikir kronologis mengurut peristiwa
berdasarkan urutan waktu kejadiannya, maka anakronisme cara berpikir yang
mencampuradukan atau memutar balikan urutan peristiwa sehingga memberikan
pemahaman yang salah. Cara berpikir anakronistis menyalahi gambaran waktu
sebagai proses yang bergerak menurut garis lurus dari awal hingga akhir.
Gerakan waktu secara matematis diukur dengan detik, menit dan jam. Satuan
ukuran waktu yang lebih besar adalah hari, minggu, bulan, tahun, windu,
dasawarsa, dan abad. Anakronistis menempatkan kejadian atau peristiwa yang
terjadi lebih dahulu di belakang kejadian atau peristiwa yang terjadi kemudian.
Sebagai contoh: peristiwa yang terjadi pada tahun 1942 lebih didahulukan dari
pada peristiwa yang terjadi pada tahun 1941, atau peristiwa yang terjadi pada
bulan Februari lebih didahulukan daripada
peristiwa yang terjadi pada bulan Januari, atau peristiwa yang terjadi
pada hari Selasa lebih didahulukan daripada peristiwa yang terjadi pada hari
Senin, atau peristiwa yang terjadi pada jam 9 lebih didahulukan daripada
peristiwa yang terjadi pada jam 8.
C.
Berpikir
Periodisasi
Periodisasi adalah pembagian waktu menurut
zamannya. Istilah periodisasi dalam bahasa Indonesia sepadan dengan penzamanan
atau pembabakan. Ketiga istilah ini (peridisasi, penzamana dan pembabakan)
mempunyai pengertian yang sama, yakni pembagian waktu menurut zamannya.
Kata periodisasi berasal dari kata
periode. Dalam bahasa Indonesia, kata periode mempunyai tiga pengertian: (1) kurun waktu, (2)
lingkaran waktu, dan (3) masa. Ketiga pengertian ini mengandung arti yang sama
yakni berkaitan dengan dimensi waktu. Oleh karena itu memahami periode menjadi
sangat penting dalam belajar sejarah karena dimensi waktu merupakan sesuatu
yang paling mendasar dalam ilmu sejarah. Periodisasi dalam ilmu sejarah
berfungsi untuk menyusun sistematika dalam penulisan sejarah.
Periodisasi diberikan berdasarkan
caesuur atau pembagian waktu yang diberikan. Pemberian caesuur diberikan oleh
para pujangga untuk historiografi tradisional, dan sejarawan untuk
historiografi modern. Keduanya mempunyai perbedaan sebagai berikut: Dalam
historiografi tradisional suatu zaman diberi nama menurut seorang raja yang
memerintah, atau dinasti yang memerintah, atau nama kerajaannya. Sebagai contoh
masa Raja Hawam Wuruk dalam sejarah Kerajaan Majapahit, Masa dinasti atau
wangsa Syailendra dalam sejarah Kerajaan Mataram Hindu yang mendirikan Candi
Borobudur, atau sejarah kota Makasar pada masa Kesultanan Gowa. Dalam
historigrafi modern, pembagian waktu diberikan berdasarkan penamaan kurun
waktu, misalnya periodisasi dalam sejarah Eropa yang dibagi menjadi tiga zaman,
yaitu zaman kuno, zaman pertengahan dan
zaman modern. Pembagian ini diberikan oleh Christophorus Cellarius (1638-1707),
seorang ahli sejarah klasik Eropa berkebangsaan Jerman yang hidup pada abad
ke-17. Dialah yang membagi sejarah Eropa menjadi zaman kuno. pertengahan, dam
modern. Setiap periode diberikan batasan waktu 500 tahun. Berdasarkan pembagian
waktu ini maka zaman kuno Eropa berlangsung antara tahun 500 hingga tahun 1000,
zaman pertengahan Eropa berlangsung antara tahun 1000 hingga tahun 1500, dan
zaman modern Eropa berlangsung mulai dari tahun 1500 hingga sekarang.
Pembulatan waktu yang dilakukan
Cellarius dalam periodisasinya bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam
memahami perjalanan sejarah bangsa Eropa menuju bangsa yang modern. Di samping
pembulatan tahun, para sejarawan juga menggunakan pembulatan berdasarkan abad.
Sementara satu abad berjumlah 100 tahun. Oleh karena itu pembulatan waktu
berdasarkan abad memahami sejarah suatu bangsa dalam kurun waktu setiap seratus
tahun. Sebagai contoh dalam historigrafi Barat dikenal periodisasi yang membagi
periodisasi menjadi periode Reformasi – Protestan untuk sejarah Eropa pada abad
ke-16, periode Rasionalisme untuk sejarah Eropa pada abad ke-17, periode
Pencerahan atau Aufklarung untuk sejarah Eropa pada abad ke-18, dan peride
Romantisme-Nasionalisme untuk sejarah Eropa pada abad ke-19.
Periodisasi juga diberikan para sejarawan
Indonesia. Pada tahun 1957 para sejarawan Indonesia membagi sejarah Indonesia
menjadi enam periode, yaitu (1) Jaman Prasejarah Indonesia, (2) Jaman Kuno, (3)
Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, (4)
Abad Kesembilanbelas, (5) Jaman Kebangkian Nasional dan Masa Akhir Hindia
Belanda, dan (6) Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. Setiap periode
tersebut berlangsung dalam kurun waktu tertentu.
Dalam sejarah politik ada kebiasaan membuat
periodisasi berdasarkan pemilihan pada tahun pertistiwa penting, antara lain
akhir perang, awal revolusi, awal suatu pemerintahan, dan lain sebagainya.
Periodisasi seperti ini membuktikan bahwa ide pentingnya peranan perang,
diplomasi, dan peristiwa penting lain sangat menonjol. Jadi dominasi sejarah
politik dan perang sangat menentukan. Sebagai contoh adalah Revolusi Perancis
pada tahun 1789 yang dijadikan sebagai awal periode modern dalam sejarah
Perancis. Dapat disimpulkan bahwa periodisasi dalam sejarah politik dilakukan
secara tajam.
Pembagian periode secara tajam sebagaimana
berlaku dalam sejarah politik tersebut tidak dilakukan para sejarawan ekonomi
dan sosial. Mereka membagi periode berdasarkan konjungtur atau gelombang yang
memperhatikan perubahan yang lambat. Sebagai contoh adalah periodisasi yang
dilakukan sejarawan Perancis, Braudel. Ia membagi sejarah menjadi tiga periode yaitu
sejarah kejadian-kejadian (L’histoire evenementielle), sejarah konjungtural,
dan sejarah jangka panjang atau sejarah structural.
Periodisasi yang paling sederhana adalah periodisasi dalam sejarah politik.
Relatif lebih mudah menetapkan caesuur (pembagian waktu) masa pemerintahan
penguasa, awal dan akhir perang, atau periode berdirinya suatu negara dan
kerajaan. Kesulitan utama dalam membuat periodisasi berkaitan dengan unit
sejarah yang diambil. Semakin besar dan kompleks suatu unit, semakin sulit.
Dalam menghadapi kesulitan-kesulitan
itu perlu diperhatikan bahwa periodisasi hanya suatu modalitas untuk memberi
struktur atau bentuk kepada waktu, tidak diperlukan kemutlakan dalam membuat
pembatasan. Yang paling pokok ialah memakai kriteria secara konsisten. Kriteria
adalah ukuran yang digunakan untuk menetapkan karakteristik zaman.
D.
Kemampuan
Berpikir Diakronis dan Sinkronik
Kemampuan berpikir diakronik dan
sinkronik mempunyai beberapa perbedaan. Pengertian berpikir diakronis adalah
kemampuan memahami peristiwa dengan melakukan penelusuran pada masa lalu.
Sebagai contoh memahami Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945 dengan menelusuri perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia sejak
masa penjajahan Belanda pada abad ke-17. Oleh karena itu cara berpikir
diakronis sangat mementingkan proses terjadinya sebuah peristiwa.
Sementara berpikir sinkronik memahami
peristiwa dengan mengabaikan aspek perkembangannya. Cara berpikir sinkronik
memperluas ruang dalam suatu peristiwa. Sebagai contoh Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945 dijelaskan dengan menguraikan berbagai aspek, seperti aspek sosial,
ekonomi, politik, dan hubungan internasioal. Oleh karena itu cara berpikir
sinkronik sangat mementingkan struktur yang terdapat dalam setiap peristiwa.
Berpikir diakronis merupakan cara
berpikir yang khas sejarah, sementara berpikir sinkronik merupakan cara berpikir
yang khas ilmu-ilmu sosial. Dapat disimpulkan bahwa cara berpikir sejarah itu
bersifat diakronik, memanjang dalam waktu, serta memetingkan proses terjadinya
sebuah peristiwa. Sedangkan cara berpikir ilmu-ilmu sosial itu bersifat
sinkronik, melebar dalam ruang, serta mementingkan struktur dalam satu
peristiwa.
Cara
berpikir sinkronik sangat mempengaruhi kelahiran sejarah baru yang sangat
dipengaruhi perkembangan ilmu-ilmu sosial. Pengaruh itu dapat di golongan ke
dalam empat macam, yaitu konsep, teori, dan permasalahan.
0 Response to "SEJARAH INDONESIA X (1): KONSEP BERPIKIR SEJARAH"
Post a Comment